""Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupi dirimu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampirimu
Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupi dirimu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupi dirimu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu
Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupi dirimu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu""
Tak asing rasanya mendengar lirik lagu yang sering
didendangkan salah satu grup musik cukup terkenal di negeri yang kita cintai
ini. Berbicara tentang potensi sumber daya alam Indonesia memang sudah tidak
diragukan lagi bahwa Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan sumber
daya alamnya. Sebagaimana lagu yang didendangkan di atas, bahwa batu dan
tongkat pun dianalogikan dapat menjadi tanaman karena kesuburan tanah yang
dimiliki negara dengan julukan jamrud khatulistiwa. Indonesia tercatat sebagai
negara kepulauan terbesar di dunia yang berarti potensi perairannya sangat
tinggi, memiliki sumber mineral dan minyak yang begitu banyak terutama di
daerah Sumetera. Tidak kalah gas, emas
dan banyak kekayaan alam lainnya juga melimpah. Berkah bagi negara yang dilalui
garis khatulistiwa ini membuat segala kekayaan alam yang dimiliki seharusnya
dapat dioptimalkan. Demikian pula dengan potensi pertanian Indonesia yang dalam
penanamannya sebagian besar komoditas dapat dilakukan sepanjang tahun karena
memiliki musim dan cuaca yang relatif stabil. Namun apa yang kita dapatkan hari
ini tampaknya belum mencerminkan sebuah bangsa yang kaya akan sumber daya
alamnya, karena secara menyeluruh kesejahteraan masyarakat tidak kita lihat di
dalam negeri ini jika dibandingkan dengan potensi sumber daya alamnya.
Pertanian Indonesia hari ini dirasa masih jauh dari kata sejahtera. Indikator ketahanan pangan, keamanan pangan, mandiri pangan, d kesejahteraan petani masih belum dapat dikatakan tercapai. Sebagai penunjang kehidupan berjuta-juta masyarakat Indonesia, sektor pertania memerlukan pertumbuhan ekonomi yang kukuh dan pesat. Sektor ini juga perlu menjadi salah satu komponen utama dalam program dan strategi pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan. Di masa lampau, pertanian Indonesia telah mencapai hasil yang baik dan memberikan kontribusi penting dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia, termasuk menciptakan lapangan pekerjaan dan pengurangan kemiskinan secara drastis. Hal ini dicapai dengan memusatkan perhatian pada bahan-bahan pokok seperti beras, jagung, gula, dan kacang
kedelai. Akan tetapi, dengan adanya penurunan tajam dalam hasil produktifitas panen dari hampir seluruh jenis bahan pokok, ditambah mayoritas petani yang bekerja di sawah kurang dari setengah hektar, aktifitas pertanian kehilangan
potensi untuk menciptakan tambahan lapangan pekerjaan dan peningkatan penghasilan
Terlepas dari upaya pemerintah pusat yang mengaku telah bersusah payah berusaha membangun pertanian di negeri yang subur ini, banyak pihak lain yang ternyata merusak sistem yang sudah ada. Perusak sistem yang dikenal mafia sudah merajalela di Indonesia, termasuk dalam bidang pertanian. Contoh mafia yang berkutat di bidang pertanian adalah mafia beras, mafia beras semakin berkuasa dan memegang kendali penuh terhadap Bulog, serta berperan aktif mempengaruhi kebijakan perberasan di negeri ini. Karut-marut kondisi perberasan di Indonesia merupakan dampak dari politisasi beras yang telah diterapkan oleh pemerintah. Dengan berlindung di balik argumentasi menekan angka inflasi dan melindungi kepentingan rakyat agar harga beras dapat dijangkau, pemerintah justru hanya melihat harga dan pemenuhan pasokan beras dari sisi supply dan demand semata.
Hal ini terefleksi dari kebijakan impor beras yang menjadi bukti valid kekalahan negara terhadap mafia beras. Ketika harga beras melambung tinggi penyebabnya disandarkan pada tingkat supply beras lokal yang tidak mampu memenuhi tingkat demand
masyarakat, sehingga untuk mengatasi gejolak harga, solusi yang ditempuh adalah dengan meningkatkan supply. Maka tidaklah aneh jika pemerintah selalu berpikir instan, yakni impor beras. Satu hal yang sangat harus dikritisi adalah pemerintah dalam hal ini Menko Perekonomian dan Menteri Perdagangan terlihat kurang peduli dalam mengatasi persoalan ketahanan pangan, khususnya dalam hal kebijakan perberasan. Dampak yang akan sangat dirasakan adalah para petani yang semakin merasa tertindas dengan kebijakan impor tersebut, meskipun ada dalih bahwa impor ini adalah demi kesejahteraan masyarakat orang banyak yang lainnya. Tetapi akan sangat tidak adil ketika rakyat yang menjadi tulang punggung keberadaan pangan tersebut justru malah dikorbankan. Permainan impor beras yang dirasa terdapat mafia beras ini seharusnya juga sudah dapat segera ditelusuri dan diselesaikan sehingga tak ada lagi kerisauan yang berujung pada kerugian rakyat dan negara.
Mafia-mafia pada komoditas yang lain juga terus merebak, terutama untuk komoditas-komoditas yang dianggap politis. Hingga saat ini belum ada usaha yang sangat serius dari pemerintah untuk dapat mengatasi hal ini, terbukti dengan banyaknya keluhan dari masyarakat petani kepada pihak-pihak yang mereka anggap dapat menyalurkan aspirasi mereka. Merebaknya mafia-mafia pertanian membuat para petani semakin jauh dari kesejahteraan. Tak dapat ditawar lagi bahwa masalah pertanian menjadi fokus utama pemerintah untuk segera diselesaikan dan menjadi harga mati. Penanganan masalah pertanian bukan hanya menjadi kewajiban Kementrian Pertanian yang membawahi bidang pertanian, namun menjadi tugas seluruh elemen pemerintah di bawah pimpinan Presiden. Fokus penanganan tersebut juga akan menunjukkan komitmen pemerintah dalam pelayanan rakyat “kelas bawah” yang pada umumnya adalah petani, nelayan dan lainnya. Atau pemerintah akan tetap mengedepankan kepentingan rakyat “kelas atas” yang di dalamnya adalah pengusaha-pengusaha yang seringkali keberadaannya menindas rakyat “kelas bawah”.
Mafia di bidang pertanian nampaknya memang masih kalah pamor di bandingkan dengan mafia pajak, mafia hukum atau mafia yang
lainnya. Meski demikian, jika hal ini terus dibiarkan dan tidak menjadi fokus penyelesaian masalah maka bukan hal yang aneh jika melihat pertanian Indonesia semakin mundur dan masyarakat pertanian juga semakin jauh dari kesejahteraan. Sementara itu para mafia tersebut semakin menikmati kemakmurannya di atas penderitaan petani-petani di negara ini.
Sebagai mahasiswa yang memiliki kapasitas intelektual seharusnya juga dapat ikut serta menyelesaikan masalah ini dengan terus mengingatkan pemerintah akan pentingnya hal ini lewat berbagai media. Kontribusi nyata mahasiswa juga dapat dilakukan dengan ikut serta membantu pemerintah dalam pembangunan kesadaran kepada masyarakat petani. Harapannya petani lebih
cerdas dalam menghadapi mafia-mafia pertanian yang ada di lapangan dengan melakuakn penyuluhan atau sejenisnya. Sebagai generas penerus mahasiswa juga harus dapat menjaga idealisme akan pentingnya penyelesaian masalah bangsa ini dan terus menularkan semangat perbaikan di generasi yang akan mendatang tanpa harus mengulangi sejarah yang tidak baik.
Masalah pertanian memang bukanlah masalah yang sederhana karena melibatkan berbagai sektor yang berkaitan dengan dunia pertanian itu sendiri, mulai dari perekonomian, perdagangan, tata lingkungan, dan lainnya. Oleh karena itu semua elemen masyarakat dalam Negara ini
seharusnya dapat turut serta dalam penyelesaian masalah-masalah yang ada, termasuk di dalamnya pemerintah, mahasiswa dan petani itu sendiri. Dengan demikian sebuah kesejahteraan negara yang kita cintai ini bukan hanya harapan
kosong semata. ***
sumber : http://inspirasitabloid.wordpress.com